This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Rabu, 20 Juni 2012
jalanan adalah sekolah
10.06
safa'atul lubis
No comments
Bagi kami kreasi bukan tradisi,,
Melainkan harta yang tak terbeli,,
Dan bagi kami jalanan adalah sekolah,,
Tapi ingat jangan anggap kami sampah.
Banyak orang bicara semaunya,,
Tentang cara hidup kita,,
Tak peduli apa kata mereka,,
Yang penting bisa berkarya dan terus.
Berkarya tuk hidupkan dunia.
Dengan seni dan peran budaya,,
Bergerak berontak itu biasa,,
Karena keadilan tak ada.
Jangan lihat kami sebelah mata.
Mengingat semua hal yang kau katakan ,,
Tentang kami dan jalanan,,
Jangan kau anggap sebagai pelarian,,
Karena disini kami tumbuh dan terus.
Anti Kemapanan
09.27
safa'atul lubis
No comments
Anti kemapanan adalah sikap atau pemberontakan atau juga
berontak (riot) terrhadap hal-hal yang bersifat materi atau kekayaan
berlebih (glamouritas), tanpa perduli nasib orang-orang (minority) atau
orang miskin, sok pamer dan menginjak hak orang miskin karena mereka
lebih kaya dari orang-orang disekitarnya. Anti kemapanan itu ada dan
lahi untuk membuat hal-hal tersebut terlihat lebih sederhana (no rules)
dan hidup apa adanya saja.
Kaum marjinal
09.13
safa'atul lubis
1 comment
Meskipun sudah lama terjadi, cerita ini masih selalu hangat untuk
didengar, dan menjadi renungan bagi banyak orang. Kurang lebih 5 tahun
lalu, media-massa ibukota geger. Pasalnya, suatu siang, di kota
Jakarta, ada seorang laki-laki, berprofesi pemulung, bernama Supriono,
terpaksa menggendong jenazah anak perempuannya, berusia 3 tahun, bernama
Khaerunisa, yang artinya perempuan yang baik, perempuan sejatinya.
Supri sedang bingung, bagaimana memakamkan puterinya, yang baru tadi
pagi meninggal dunia, di perut gerobak, kendaraannya untuk memulung.
Nisa menderita muntaber 4 hari yang lalu, dan tidak diobati dengan
benar. Tidak diceritakan, kemana isteri Supri, ibu Khaerunisa, tapi
saat itu mereka hanya bertiga, didampingi kakak Khaerunisa, bernama
Muriski Saleh, yang juga masih kanak-kanak, berumur 6 tahun. Tak tahan
menanggung sakit diarhe berkelanjutan yang disertai panas tinggi dan
muntah-muntah, akhirnya Khaerunisa menyerah. Dia tak kuasa menahan
penyakitnya. Khaerunisa meninggal tadi pagi, dibawah jembatan layang
Cikini. Supri hanya sekali membawa puterinya ke Puskemas, 3 hari lalu.
Meskipun hanya diminta biaya administrasi Rp 4.000, Supri tidak
meneruskan pengobatan Nisa. Semula Supri masih mengharap agar puterinya
bisa sembuh dengan sendirinya, seperti yang selama ini terjadi bila dia
atau anak-anaknya sakit. Tapi, kali ini suratan takdir berkata lain.
Tak heran, karena sebagai pemulung, Supri hanya berpenghasilan rata-rata
Rp 10.000 per hari. Tetapi, drama kematian putri Supri belum berakhir,
bahkan drama sejatinya, baru dimulai.
Kemudian, Supri membawa anaknya berjalan kaki ke stasiun Tebet, untuk
meneruskan perjalanan ke desa Kramat, Bogor. Disana ada kampung
pemulung yang, siapa tahu, bisa membantu memakamkan Nisa secara gratis.
Supri menggendong puterinya dengan sarung, satu-satunya harta yang
tertinggal, tetapi muka Nisa dibiarkan terbuka, tidak selayaknya membawa
jenazah, agar orang tidak curiga kalau Nisa sudah tiada. Dia berjalan
dan berjalan, sejauh hampir 3 km, dibawah terik matahari, dengan hati
yang bercampur aduk. Sesampainya di Tebet, Supri dengan sabar menunggu
KA tiba. Muriski Saleh, belum menyadari bahwa sejak hari itu, dia tak
lagi punya kawan bermain. Dia sudah tidak punya adik. Dia menjadi
seorang diri. Oleh karenanya, dia masih asyik bermain. Adiknya
dibiarkan “tidur” di dekapan bapaknya, tanpa nyawa, sampai tiba-tiba,
entah karena apa, seorang pedagang asongan menyapa Supri dan menanyakan
keadaan anaknya. Supri mengaku dengan jujur bahwa anaknya telah
meninggal. Pengakuan itu ternyata membawa Supri semakin kerepotan. Dia
dibawa ke Pos Polisi Tebet untuk diinterogasi. Belum selesai urusan
Polisi, Supri sekeluarga harus ke RS Cipto Mangunkusumo, untuk mendapat
Surat Kematian dan Surat Pembawa Jenazah ke luar kota. Disini urusan
administrasi dan birokrasi bercampur menjadi satu, dan membelit
Supriono, yang sedang gundah-gulana, sedang berduka, untuk kembali
menjadi korban kekejaman ibukota. Setelah bolak-balik dipingpong oleh
administrasi perkotaan yang ruwet, Supri yang entah punya KTP atau
tidak, akhirnya menggenggam surat-surat sakti yang dibutuhkan itu.
Tapi, dia harus kembali berjalan kaki untuk mencari kendaraan umum ke
Bogor. Sore itu, Supri, Muriski Saleh dan Almarhumah Khaerunisa
menghilang dari jalanan ibukota, entah mau kemana, untuk mencapai tempat
peristirahatan Khaerunisa yang terakhir. Selamat jalan Nisa……Ikut
berduka Lik Supri, ikut bersedih mas Riski, Inna Lillahi Wa Inna Ilahi
Raaji’oon.
Cerita pedih seperti yang dialami Supriono, banyak sekali terjadi di
kota besar seperti Jakarta. Jumlahnya mungkin beratus-ratus atau
beribu-ribu kisah yang dapat menguras air mata mereka yang membacanya.
Di dalam Ilmu Sosial, orang seperti Supriono dan keluarganya, disebut
sebagai kaum marjinal, mereka yang terpinggirkan, mereka yang
terlupakan, mereka yang tidak dihitung. Menurut Hetifah Sjaifudian,
Ph.D, ahli Ilmu Sosial dan aktivis Yayasan AKATIGA-Surakarta, biasanya
kaum marjinal diidentikkan dengan mereka yang miskin. Tetapi, kaum
marjinal tidak serta-merta identik dengan miskin. Orang miskin, hampir
pasti menjadi kaum marjinal, tetapi kelompok terpinggirkan belum tentu
karena miskin. Kemudian, siapakah kaum marjinal itu, selain pemulung
seperti Supriono? Mereka adalah orang-orang yang secara ekonomi, agama,
hukum, sosial, politik atau budaya tidak mempunyai akses kepada
kehidupan yang sejahtera, aman, nyaman, damai dan berkembang. Mereka
secara struktural, secara sengaja, secara sistematis, secara terencana
dipinggirkan agar tidak “mengganggu” kaum-tengah. Dan, celakanya,
kaum-tengah yang meminggirkan kaum marjinal adalah saya, anda,
teman-teman kita dan kita semua, bahkan negara, yang sedikit atau banyak
telah berkontribusi, atau, paling tidak, membiarkan ketika kaum
marjinal disingkirkan.
Kisah Supriono mirip dengan sangat banyak cerita serupa. Seorang teman
saya yang berkantor di bilangan Cilandak, menjumpai kisah senada yang
tak kalah heroik, yang tak kalah mengharukan. Ketika sore hari dia
pulang dari tempat kerja menuju rumahnya di bilangan Rempoa, naik
minibis Koantas Bima, nomer trayek 509, jurusan Kampung Rambutan-Lebak
Bulus, dijumpai kisah mengharukan ini. Ketika sang teman sedang duduk
di bis yang kebetulan agak kosong, dia baru menyadari bahwa kernet yang
bertugas mengutip ongkos bis, ternyata seorang perempuan. Yang lebih
mengagetkan, si kernet sedang hamil. Dia mengenakan gaun hamil panjang
yang agak longgar, meskipun tetap terlihat bahwa perutnya membesar.
Suaranya lantang meneriakkan tujuan bis yang diawakinya untuk menarik
penumpang sebanyak mungkin. Gerak-geriknya gesit, naik dari pintu
belakang dan lompat turun dari pintu depan, menggiring penumpang yang
baru naik atau akan turun. Tugasnya tak terganggu dengan keperempuannya
atau bahkan kehamilannya. Ketika sempat ngobrol, teman saya berhasil
mengorek beberapa informasi tentang perempuan perkasa yang gagah-berani
itu. Namanya, sebut saja, Upik, berusia kira-kira 30 tahun, dengan usia
kehamilan 6 bulan, dan kandungan ini merupakan anak keduanya. Suami
Upik bekerja di bengkel di Pasar Minggu sebagai helper, yang tentunya
berpenghasilan pas-pasan. Tak heran kalau Upik masih harus berjuang
membanting tulang, agar dapurnya tetap menyala dan yang penting mereka
mempunyai tabungan untuk biaya persalinan, 3 bulan mendatang. Andai
saja, nanti, anak mereka lahir, tentunya dia tak tahu bahwa ibunya
pernah berjibaku, berjuang dengan gagah-berani untuk kehidupan sang
anak, buah hati mereka berdua, pasangan kernet bis Koantas Bima dan
montir bengkel rendahan di Pasar Minggu. Upik adalah bagian dari kaum
marjinal. Upik adalah Kartini atau Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika
masa kini. Pahlawan keluarga yang seharusnya beristirahat cukup, karena
kehamilannya, tetapi harus tunggang-langgang memikirkan bagaimana
keluarganya harus makan dan jabang bayi harus lahir.
Supriono dan anak-anaknya, Upik dan suaminya, atau ribuan atau jutaan
kelompok pinggiran lainnya adalah kaum marjinal yang tidak gampang
dikalahkan. Meskipun mereka sadar bahwa lawannya sangat kuat, bahwa
mereka yang seharusnya melayani dan mendukung justru menjadi penyebab
utama, bahwa masa depan yang berpengharapan masih sangat jauh disana,
tetapi mereka tetap optimis dan pantang menyerah. Kerja keras
pemulung, pedagang kaki-lima, tukang ojeg, tukang sayur, buruh tani,
nelayan kecil, kernet atau sopir kendaraan umum adalah bukti bahwa
kaum marjinal tidak lemah. Seolah-olah tidak perlu bantuan kita, kaum
tengah yang sering justru meminggirkan mereka. Saya ingin mengingat
satu ajaran Mother Teresa, pejuang dan tokoh kemanusiaan dari Calcuta,
yang dikutip dari salah satu buku tentangnya, “The poor, the
marginalized, and the ones who are not counted; they exist because we
create them. Especially by the superstructure, and then by me, by you, -
by all of us. Consequently, it is our responsibility to help elevate
them”. Kaum marjinal ada dan sering “mengganggu” kita, karena negara
membuatnya, karena kita ikut membiarkannya, sangat wajar kalau kita
harus menengahkannya kembali.
Senin, 11 Juni 2012
Peningkatan kemampuan membaca dan menulis
04.17
safa'atul lubis
No comments
MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN
MELALUI
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Wahyu Sukartiningsih
Abstrak: Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengkaji efektivitas pembelajaran
konstruktivisme dalam
meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis permulaan
(MMP) di
kelas 1 sekolah
dasar (SD). Penelitian ini
menggunakan tiga siklus
pembelajaran kontruktivisme, yaitu
(1) mengenalkan huruf
dengan media kartu
kata
bergambar,
(2) membaca dan menulis kata dan suku
kata berulang dengan media cerita
bergambar yang
didesain khusus, dan
(3) membaca dan
menulis kalimat sederhana
dengan
media cerita bergambar yang didesain khusus. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa pembelajaran konstruktivisme dapat
meningkatkan kemampuan membaca dan
menulis permulaan siswa
dalam bentuk: 1)
menurunnya membaca dengan
mengeja
sehingga
dapat meningkatkan kelancaran membaca dan menulis siswa, (2) meningkatnya
pemahaman
siswa terhadap bahan bacaan, dan 3) meningkatnya minat dan motivasi siswa
untuk
membaca dan menulis permulaan.
Kata
kunci: pembelajaran, kontruktivisme, membaca dan menulis permulaan
Terdapat tiga siklus dalam
pembelajaran kontruktivisme, yaitu (1) mengenalkan huruf melalui media gambar,
(2) membaca dan menulis kata dan suku kata secara berulang dengan menggunakan
media gambar yang didesain khusus, dan (3) membaca dan menulis kalimat melalui
media gambar yang didesain khusus.
Dalam pembelajaran kontruktivisme ini kita
dapat meninggkatkan kemampuan membaca dan menulis pada siswa dalam bentuk :
1 Kelancaran membaca pada siswa
2 Pemahaman bacaan
3 Minat dan motivasi siswa untuk
menulis dan membaca
Kenalkan
pada anak istilah bahwa "baca buku, buka dunia"